Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan: Teori dan Contoh Aplikasi

Pecking Order Theory dalam Struktur Modal Manajemen Keuangan

Teori Struktur Modal

Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan mengapa suatu perusahaan akhirnya memilih struktur modal tertentu seperti:

  1. Coprporate tax
  2. Biaya kebangkrutan, dan
  3. Personal tax

Penjelasan 3 faktor ini termasuk dalam lingkup balancing theories.

Esensi balancing theories adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat masih lebih besar, hutang akan ditambah. Tapi bila pengorbanan karena menggunakan hutang sudah lebih besar, maka hutang tidak boleh lagi ditambah.

Ada lagi teori struktur modal yang dirumuskan oleh Myers dan Mjluf, yaitu pecking order theory.

Apa itu pecking order theory?

Packing order theory adalah teori yang menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai.

Teori ini mendasarkan diri atas informasi asimetri [asymmetric information], adalah suatu istilah yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak tentang prospek, risiko dan nilai perusahaan daripada pemodal publik.

Manajemen perusahaan mempunyai informasi yang lebih banyak dari pemodal karena:

  • merekalah yang mengambil keputusan-keputusan keuangan
  • yang menyusun berbagai rencana perusahaan
  • dan kebijakan perusahaan lainnya

Kondisi ini dapat dilihat dari reaksi harga saham pada waktu manajemen mengumumkan sesuatu [seperti peningkatan pembayaran dividen]. Informasi asimetrik ini mempengaruhi pilihan antara struktur modal internal dan eksternal.

Sumber dana internal, yaitu dana dari hasil operasi perusahaan, ataukah eksternal, dan antara penerbitan hutang baru, ataukah ekuitas baru, karena itu, teori ini disebut sebagai pecking order theory.

Disebut pecking order theory karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai.

Sesuai dengan teori ini maka investasi akan dibayar dengan dana internal terlebih dahulu, yaitu laba ditahan, kemudian baru diikuti dengan penerbitan hutang baru, dan akhirnya dengan penerbitan ekuitas baru. Dan berikut ini dijelaskan alasan mengapa perusahaan lebih menyukai penerbitan hutang daripada ekuitas baru.

contoh struktur modal

Studi Kasus

Perhatikan contoh #2 perusahaan berikut ini:

PT A dan PT B saat ini memiliki harga saham masing-masing di bursa efek adalah sebesar Rp 10.000. Meskipun demikian, nilai sebenarnya [true value] saham-saham tersebut mungkin lebih besar atau lebih kecil dari Rp 10.000.

Kemungkinan bahwa true value bisa lebih besar atau lebih kecil dari harga di bursa efek saat ini semata-mata mencerminkan ketidakpastian yang dihadapi para pemodal.

Misalnya, pengharapan para pemodal di waktu lalu sering meleset, yakni realisasi bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang diharapkan, sedangkan harga di bursa saat ini tidak lain adalah taksiran terbaik para pemodal. Berdasarkan atas informasi yang mereka miliki atas perusahaan-perusahaan tersebut.

Kondisi Perusahaan

Misalkan situasi dan kondisi kedua perusahaan adalah sebagai berikut:

struktur modal efektif
Gambar: pecking order theory

Misalnya kedua perusahaan tersebut perlu menghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai suatu investasi. Mereka dapat menghimpun dana dengan menghimpun utang dengan menerbitkan obligasi atau menghimpun ekuitas dengan menerbitkan saham baru.

Keputusan Akhir Terbaik

Bagaimana pilihan terbaik, menerbitkan saham atau obligasi?

A. Pemegang kebijakan struktur modal manajemen keuangan perusahaan A memiliki pertimbangan sebagai berikut:

Kalau harga saham di bursa saham saat ini adalah Rp 10.000. Maka jika perusahaan menerbitkan saham baru, maka saham tersebut harus ditawarkan dengan harga Rp 10.000 juga.

Padahal perusahaan adalah perusahaan yang sangat baik, prospek perusahaan sangat cerah, sehingga harga saham di bursa saham saat ini sebenarnya sangat rendah.

Harga yang wajar mestinya Rp 12.000, karena perusahaan tidak mungkin menerbitkan saham baru dengan harga Rp 12.000, maka lebih baik perusahaan menerbitkan hutang saja [menerbitkan obligasi] daripada harus menjual saham baru dengan harga terlalu rendah.

B. Pemegang kebijakan struktur modal manajemen keuangan perusahaan B mungkin mempunyai pertimbangan seperti berikut:

Perusahaan ini memang mencatat hasil operasi yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir ini, dengan demikian maka harga saham saat ini tercatat di bursa saham sebesar Rp 10.000. Sayangnya, perusahaan tidak melihat kondisi akan berlanjut terus di masa datang. Persaingan akan makin ketat, sehingga hasil operasi perusahaan akan menurun.

Saat ini nampaknya para pemodal memang belum menyadari situasi ini, sehingga harga saham masih bertahan pada harga Rp 10.000, dengan demikian, apakah tidak sebaiknya perusahaan menerbitkan saham baru dengan harga RP 10.000?”

Yang menjadi masalah adalah jika perusahaan menawarkan saham baru dengan harga Rp 10.000. Pemodal bisa saja menyadari bahwa harga saham saat ini yaitu Rp 10.000 sebenarnya terlalu tinggi, sebagai akibatnya para pemodal hanya bersedia membayar dengan harga Rp 8.000 dan harga saham lama pun ikut turun menjadi Rp 8.000.

Bila para pemegang kebijakan keuangan menyadari hal ini, maka ia justeru tidak ingin menerbitkan saham baru yang dapat dipergunakan sebagai signal bahwa harga saham saat ini sudah terlalu tinggi, dan kemudian lebih memilih menerbitkan obligasi.

Sebagai akibatnya, maka baik situasi harga saham saat ini cenderung undervalue [terlalu murah] Ataukah overvalue [terlalu tinggi] akan menyebabkan perusahaan memilih menerbitkan obligasi. Dengan istilah lain, asimetrik informasi akan membuat memilih menerbitkan obligasi dari pada saham baru.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa setiap kali perusahaan memerlukan pendanaan eksternal, perusahaan akan menerbitkan obligasi dan bukan saham baru. Alasannya adalah (1) asimetrik informasi tidak terlalu penting, dan (2) terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi pilihan struktur modal.

Sebagai contoh bila salah satu perusahaan tersebut sudah menggunakan hutang yang terlalu besar. Dengan memiliki rasio hutang yang tinggi, maka pendanaan eksternal ditarik dalam bentuk saham baru.

Pengumuman  penerbitan saham baru tersabut memang akan menyebabkan harga lama bisa sedikit turun, tapi penurunan tersebut masih dinilai wajar atau lebih baik dibandingkan dengan penurunan harga saham bila perusahaan bersikukuh menerbitkan obligasi.

Dengan adanya asimetrik informasi tersebut juga akan mengakibatkan perusahaan lebih suka menggunakan pendanaan internal daripada eksternal.

Penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi baru kepada pemodal sehingga dapat menurunkan harga saham.

faktor yang mempengaruhi struktur modal

Dan secara ringkas teori pecking order tersebut menyatakan sebagai berikut:

  1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal
  2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio struktur modal kebijakan dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar.
  3. Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun kurang untuk investasi.
  4. Bila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan dimulai dari penerbitan obligasi. Kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, selanjutnya menerbitkan saham baru.

Modal Sendiri

Sesuai dengan teori ini, tidak ada target rasio hutang, karena ada 2 jenis modal sendiri yang preferensinya berbeda, yaitu:

  1. Laba ditahan yang dipilih lebih dulu
  2. Penerbitan saham baru dipilih paling akhir

Rasio hutang setiap perusahaan akan dipengaruhi oleh kebutuhan dana untuk investasi.

Lalu mana diantara dua teori tersebut dianut oleh perusahaan?

Pengamatan terhadap beberapa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia menunjukan bahwa penggunaan modal sendiri yang sebesar-besarnya juga dipandang bukan keputusan yang terbaik, alasanya karena akan membayar pajak penghasilan yang besar.

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan juga menganut balancing theories. Sebaliknya, kecenderungan perusahaan untuk memilih pendanaan internal jika dihadapkan pada kesempatan investasi yang menguntungkan, sehingga pembayaran dividen dijadikan variabel pasif. Hal ini menunjukkan diterapkannya pecking order theory.

Penelitian Bayles and Diltz menunjukkan bahwa pengujian balancing theories harus dilakukan dalam jangka panjang, dan balancing theories lebih mampu menjelaskan keputusan struktur modal yang dianut oleh berbagai perusahaan.

Manajemen Keuangan Profil

Profesional lulusan ekonomi yang menekuni ERP (SAP), Accounting Software, Business Analyst dan berbagi pengalaman pekerjaan Finance & Accounting.