Sistem Perbankan di Indonesia: Karakteristik, Penyelenggaraan Akuntansi dan Contoh

Unit banking system dan branch banking system adalah sistem perbankan di Indonesia. Bank yang menganut branch banking systemy dapat beroperasi melalui jaringan cabang bank yang bersangkutan. Namun ada juga bank yang menganut unit banking system yang hanya beroperasi di wilayah tertentu, walaupun memiliki kemampuan untuk membuka jaringan yang lebih luas.

Bagaimana penjelasan detail tentang 2 sistem tersebut, karakteristik, hubungan antar cabang dan penyelenggaraan akuntansinya? Mari ikuti pembahasan renyahnya dalam artikel berikut ini…

 

01: Unit Bank System dan Branch Banking System

sistem perbankan indonesia

Sistem perbankan di Indonesia yang dalam praktik selama ini  adalah unit banking system dan branch banking system.

A: Unit Bank System

Apa yang dimaksud unit banking system?

Berlakunya pola operasional perbankan pada ruang lingkup unit tersebut saja, beridir sendiri, dan mempunyai kewenangan yang mencakup kegiatan bank yang bersangkutan.

Pada sistem ini, bank tidak membuka cabang di luar wilayah kerja/distrik/propinsi.

Bank yang menganut sistem ini di Indonesia misalnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Bank yang menganut sistem ini secara umum memiliki ciri-ciri:

  1. Organisasinya relatif kecil
  2. Ruang lingkup operasi terbatas
  3. Delegasi wewenang masih terbatas
  4. Keputusan kredit lebih cepat karena prosedurnya tidak berbelit-belit dan langsung ditangani direkturnya.

Kelemahan sistem perbankan ini adalah bisa mengakibatkan terhimpunnya kekuasaan/ sentralisitik.

 

B: Branch Banking System

Apa yang dimaksud Branch Banking System?

Pengertian Branch Banking System adalah sistem perbankan yang terdiri dari kantor pusat, kantor cabang dengan manajemen modern yang terpadu, terencana.

Dan ada desentralisasi kewenangan yang luas serta wilayah operasionalnya sangat luas/ tidak pada wilayah tertentu saja.

Contoh sistem ini adalah sistem yang dianut oleh bank-bank nasional, seperti Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank BNI.

Ciri-ciri bank yang menganut sistem ini adalah:

Ciri #1:

Bank dapat fleksibel untuk melakukan diversifikasi produk yang lebih bervariatif untuk mendukung jaringan cabang/ operasional yang lebih luas.

Ciri #2:

Bank dapat melakukan intermediari lokasi sehingga dapat tumbuh lebuh cepat dan mengambil peran yang lebih besar dalam perekonomian.

Ciri #3:

Bank dapat melakukan ekspansi fisik ke daerah ekonomi baru, terutama pusat-pusat pertumbuhan sehingga mampu meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat setempat.

Ciri #4:

Kantor pusat membuat perencanaan jangka panjang, cabang-cabang membuat rencana jangka pendek.

Ciri #5:

Delegasi wewenang lebih jelas dan mantap terutama dalam memutuskan kredit berdasarkan status cabang. Biasanya ada cabang kelas I, II, dan seterusnya yang memiliki kewenangan pengucuran kredit yang berbeda.

Ciri #6:

Sistem ini lebih memungkinkan untuk menjangkau pasar terdekat dengan adanya cabang-cabang.

Branch banking system memberikan beberapa kelebihan, namun juga terdapat beberapa kelemahan terutama ketika cabang menerima permohonan kredit yang bukan kewenangannya (di atas plafond yang ditentukan cabang).

Preoses perkreditan menjadi lebih lama karena harus melalui kantor pusat.

Di samping itu, dengan sistem ini akan merugikan bank bila delegasi wewenang dari pusar ke cabang tidak diikuti kemampuan manajerial maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam menyajikan informasi secara cepat dan akurat.

Untuk itu di samping kemampuan manajerial, keahlian akuntansi menjadi tuntutan pada setiap cabang.

Cabang sebagai unit bisnis akan berdiri sendiri tapi sebagai unit usaha merupakan bagian dari pusat.

Oleh karena itu, akuntansi bank cabang harus diintegrasikan dengan kantor pusat.

Di sinilah hubungan akuntansi antara pusat dan cabang menjadi perhatian serius.

 

02: Karakteristik Kantor Cabang Bank dalam Sistem Perbankan di Indonesia

pengertian sistem perbankan indonesia

Kantor cabang dikelola oleh seorang pimpinan cabang atau diektur cabang yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama (top management) di kantor pusat.

Untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan cabang, pimpinan cabang harus melaporkan setiap aktivitas cabang setiap waktu tertentu agar kanyot pusat bisa mengambil keputusan tertentu.

Laporan-laporan keuangan cabang bisa digunakan oleh kantor pusat  untuk menilai kinerja cabang atau alat kontrol terhadap cabang meskipun disadari sebagai unit bisnis bahwa kantor cabang berdiri sendiri.

Beberapa karakteristik kantor cabang sebagai unti bisnis yang berdiri sendiri adalah:

Karakteristik #1:

Kantor cabang berdiri karena didirikan oleh kantor pusat, sehingga akan dibiayai oleh kantor pusat. Misalnya:

  • diberikan modal kerja berupa uang tunai
  •  Diberikan aktiva tetap, misalnya gedung, tanah, kendaraan
  • Aktiva tetap lain hingga siap beroperasi.

Karakteristik #2:

Kantor cabang memiliki kewenangan untuk bertransaksi dengan pihak ketiga. Transaksi itu baik yang menyangkut penghimpunan dana amaupun penempatan dana, misalnya penempatan kredit perbankan.

Karakteristik #3:

Dalam hal membelanjai aktivitas cabang bank, kantor cabang dapat mendanai dari sumber dana yang dimiliki kantor cabang. Namun demikian bila tidak mencukupi akan meminta bantuan kantor pusat.

Karakteristik #4:

Kantor cabang mempunyai kewenangan untuk:

  • menganalisis permintaan kredit,
  • memutuskan pemberian kredit (sampai pada volume tertentu),
  • menyelenggarakan administrasi kredit sampai kembalinya kredit (dilunasi), serta
  • hal yang menyangkut penyelamatan kredit di tingkat cabang.

Namun demikian keputusan kredit harus tunduk pada standar perkreditan yang telah ditentukan oleh pusat, termasuk di dalamnya persyaratan-persyaratan kredit secara baku.

Karakteristik #5:

Kantor cabang dapat mengelola uang tunai dari hasil penghimpunan dana maupun dari pelunasan kredit serta melakukan transaksi-transaksi pembayaran atas nama inisiatif kantor cabang.

 

03: Penyelenggaraan Akuntansi – Sistem Perbankan di Indonesia

kebijakan perbankan

Penyelenggaraan akuntansi di tingkat cabang sebenarnya relatif sama dengan akuntansi pada bank sebagai badan usaha.

Yang membedakan adalah kantor cabang bank tidak memiliki rekening modal.

Sebagai pengganti rekening modal adalah Rekening Antara Kantor (RAK) Kantor Pusat.

Rekening ini untuk menampung selisih antara aktiva dengan passiva pada kantor cabang bank.

RAK – kantor pusat pada sisi kredit adalah modal bagi kantor cabang, namun bagi kantor pusat adalah investasi pada cabang.

Hubungan antara kantor pusat dengan kantor cabang tercermin pada pencatatan transaksi di kantor cabang yaitu RAK kantor pusat dan di kantor pusat akan mencatat RAK–kantor cabang.

Perhatikan contoh berikut ini:

Kantor Pusat sebuah bank di Jakarta telah mentransfer dana Rp 500.000.000 ke kantor cabang di Semarang.

Bagaimana cara mencatat jurnal transaksi tersebut?

#1: Pencatatan jurnal umum transaksi di Cabang Semarang

[Debit] Kas Rp 500.000.000
[Kredit] RAK Kantor Pusat Rp 500.000.00

#2: Pencatatan Jurnal transaksi di kantor pusat

[Debit] RAK Kantor Pusat Rp 500.000.000
[Kredit] Kas Rp 500.000.000

Transaksi tersebut menunjukkan investasi kantor pusat pada kantor cabang sebesar Rp 500.000.000 dan modal kantor cabang sebesar Rp 500.000.000.

Namun demikian bila terjadi mutasi aktiva pada kantor cabang, kantor pusat tidak akan mencatatnya.

Hal ini sebagai konsekuensi kantor cabang sebagai unit bisnis yang diberi kewenangan untuk mengelola aktiva maupun passivanya.

Perhatikan contoh berikut ini:

Kantor cabang sebuah bank menggunakan dana dari kantor pusat tersebut untuk membeli kendaraan operasional secara tunai Rp 150.000.000.

Maka cara mencatat jurnal transaksi tersebut hanya terjadi di kantor cabang.

[Debit] Kendaraan  Rp 150.000.000
[Kredit] Kas Rp 150.000.000

 

04: Hubungan Antar Kantor Cabang – Sistem Perbankan di Indonesia

KAS

Hubungan antara kantor cabang pada bank yang sama akan terjadi sebagai akibat transaksi yang dilakukan antar cabang.

Transaksi antar cabang akan mengakibatkan hubungan utang piutang antar cabang.

Hubungan utang-piutang ini akan menimbulkan biaya bunga bagi kantor cabang yang mempunyai kewajiban terhadap cabang lain.

Dan akan menimbulkan pendapatan bunga RAK bagi kantor cabang yang memiliki piutang terhadap kantor cabang lain.

Akuntansi untuk transaksi antar cabang sangat tergantung sistem yang dianut oleh bank yang bersangkutan.

Bila bank menganut pencatatan jurnal transaksi secara sentralisasi, maka setiap transaksi antar cabang akan mengakibatkan pendebetan atau pengkreditan RAK Kantor Pusat.

Namun bila bank menganut DESENTRALISASI maka masing-masing kantor cabang akan mendebet atau mengkredit RAK Kantor Cabang.

Praktik yang sering dilakukan bank selama ini adalah desentralisasi dalam pencatatan jurnal transaksi  antar kantor cabang.

Perhatikan contoh pencatatan jurnal transaksi antar kantor, bank dengan sistem perbankan sentralisasi:

Tanggal 25 September 2019 Bank Setia Artha Cabang Semarang mentransfer dana sebesar Rp 100.000.000  ke cabang Bandung atas beban nasabah giro Bapak Alex.

Transfer tersebut untuk keuntungan nasabah giro Bapak Budi di Bank Setia Artha Cabang Bandung.

Maka cara mencatatat jurnal transaksi tersebut adalah sebagai berikut:

#1: Pencatatan Jurnal transaksi di Bank Setia Artha Cabang Semarang:

Tanggal 23 September 2019:

[Debit] Giro Bapak Alex  Rp 100.000.000
[Kredit] RAK Kantor Pusat  Rp 100.000.000

#2: Pencatatan Jurnal transaksi di Bank Setia Artha Cabang Bandung:

Tanggal 23 September 2019:

[Debit] RAK Kantor Pusat Rp 100.000.000
[Kredit] Giro Bapak Budi  Rp 100.000.000

#3: Pencatatan jurnal transaksi di Bank Setia Artha Kantor Pusat, Jakarta

Tanggal 23 September 2019:

[Debit] RAK Cabang Semarang  Rp 100.000.000
[Kredit] Cabang Bandung  Rp 100.000.000

Bila bank menganut sistem desentralisasi, maka setiap transaksi antar cabang akan dibukukan langsung oleh kantor cabang sebagai berikut:

#1: Pencatatan jurnal transaksi di Bank Setia Artha Semarang

Tanggal 23 September 2019:

[Debit] Giro Bapak Alex Rp 100.000.000
[Kredit] RAK Cabang Bandung Rp 100.000.000

#2: Pencatatan jurnal transaksi di Bank Setia Artha Bandung

Tanggal 23 September 2019:

[Debit] RAK Cabang Semarang  Rp 100.000.000
[Kredit] Giro Bapak Budi  Rp 100.000.000

 

05: Kesimpulan

Secara umum ada dua sistem perbankan di Indonesia, yaitu unit banking system dan branch banking system.

Penggunaan sistem perbankan ini akan mempengaruhi karakteristik dan penyelenggaran akuntansi.

Sebuah bank yang menganut sistem perbankan – unit banking system akan berbeda dengan yang menganut sistem perbankan – branch banking system, termasuk dalam penyelenggaraan sistem pencatatan akuntansinya antara lain pencatatan komitmen dan kontinjensi.

Kedua sistem perbankan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan.

Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai sistem perbankan di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Terima kasih.

Manajemen Keuangan Profil

Profesional lulusan ekonomi yang menekuni ERP (SAP), Accounting Software, Business Analyst dan berbagi pengalaman pekerjaan Finance & Accounting.